Rabu, 15 September 2010

Feast III: Happy Finish (2009)

1 komentar


Film goblok, tolol., gore-fest, black comedy parade, twisted dengan caranya yang super unik? Lo tanya begitu, gue jawabnya pake FEAST SERIES. Untuk lebih spesifiknya gue mau review Feast III: Happy Finish. Film ini, seperti judulnya, bener-bener ngasih ending dari trilogi paling begok yang pernah gue tonton seumur-umur, bahkan film ini bisa ngalahin Bad Tastenya Peter Jackson soal ancurnya. Ini jarang, mungkin 5 taun sekali perusahaan dengan spesialisasi macem Troma harus membungkuk hormat sama perusahaan laen, dan itu semua gara-gara film ini.

Masih berkelanjutan dari seri keduanye, sekumpulan orang-orang yang bisa lo tempelin label asshole di jidat mereka masih berusaha bertahan hidup, masih di kota kecil-terpencil, dan dikelilingi alien buas. Bukan Cuma buas dan kepengen makan Happy meals versi homo sapiens, tapi juga horni dan ngebet pengen lanjutin keturunan di teritori jajahan baru mereka ini. Selain para pemaen lama, muncul juga pemaen-pemaen baru yang definitely gak kalah brengseknya dengan pendahulu mereka. Dari cowok kelebihan testosteron sok hero, kung-fu maniak berotak sableng, dan nabi jadi-jadian sok asik. Kesemuanya masih dikenalin sama sutradara kita dengan cara yang keren, cuplikan-cuplikan acak yang gak berkesinambungan sama sekali dengan cerita, juga masih dengan nama-nama konyol yang jadi ciri khas masing-masing karakter tersebut.

Yang udah cinta mati sama Feast II ga usah khawatir deh, adegan gore konyol masih banyak bertebaran disini, boobs yang terlalu eksplisit, perkosaan antar spesies, makhluk hibirida yang ridikulus, dan adegan fighting yang gak Cuma keren, tapi tolol. Jangan lupa, blood and flesh is everywhere, mutilasi is on the air, adegan kepala dimakan bulet-bulet plus diberakin, scene canibal yang ulta disturbing tapi mancing tawa, dan banyaaaaak lagi adegan sinting but hilariously fun di Feast III. Dan siap-siaplah buat ngedapetin ending super twisted yang ngebuat gue bengong 5 menitan-gak-tau-harus-komentar-apa yang sangat-sangat-sangat asshole, lo harus tonton sendiri buat ngerti apa yang gue tulis.

Jelas, film ini berada di genre yang bisa bikin orang macem Roger Ebert atau penikmat Citizen Kane koma mendadak. But heeey!! This is B movie, B movie super keren tepatnya, ngarepin apa lagi? Fim ini ada di level dengan penggemar segmented, gue heran kenapa ada temen gue yang bilang film ini sampah, oh yeah, bener banget, sampah super keren tepatnya. Wah.. gue bisa aja ngabisin space buat ngereview film ini Cuma buat puja dan puji doang. . Yang jelas, siapapun Produser dari film ini (lupa ) doi udah ngebikin sebuah franchise menjanjikan yang bakal punya fanbasenya tersendiri, gue gak ragu kalau 10-20 tahun mendatang, film ini bakal jadi salah satu cult dalam genre horror-gore di dekade 2000s. gosipnya, Feast IV lagi dalam tahap perundingan buat dibikin, semoga dah.

Genre Favorit Gue?

0 komentar
Mungkin sebagian besar para moviegoers punya genre yang dijadikan favoritnya dalam menonton sebuah film, entah horror, komedi, thriller, atau suspense. Dan biasanya, film-film yang sesuai dengan genre favoritnya itu akan didahulukan melewati film-film lainnya. Contohnya aja, bude gue, dia fanatik ekstrim sama film-film yang berbau action, film-film action segala rupa dari jamannya Jean Claude Van-Damme, Steven Seagle sampai Matt Damon atau Channing Tatum di zaman sekarang selalu ia tonton. Dan film-film genre lain, mau seterkenal apapun, ga akan sanggup bikin lehernya nengok barang satu derajat. Duileh, yang namanya Avatar aja dia kaga ngeh (atau kaga mau ngeh?)

Menonton film buat gue itu gue pikir hanya kegiatan sampingan, hobi sekunder yang ngga penting-penting amat, karena fokus gue (dulu) lebih kepada apa yang bisa gue baca, daripada apa yang bisa gue nikmatin secara audio visual. Jadinya, gue selalu menerima aja setiap genre yang gue tonton, ngga pilih-pilih dan berusaha untuk selalu enjoy nikmatin. Lain dulu lain sekarang, semenjak pindah ke Bandung, gue jadi lumayan sering menyambangi bioskop, yah.. untuk seenggaknya menonton film-film yang box office lah, yang punya pamor publik, untuk sekedar membunuh waktu kosong gue yang emang lowong banget disini.

Kebiasaan yang mulai berubah ini membuat gue lebih selektif saat menyaring, mana-mana aja nih film yang sekiranya ngga hanya berakhir dengan gue tonton aja, tapi yang juga bisa memberikan cinematic orgasm. Kepuasan puncak saat menonton sebuah film. Awalnya sih berjalan dengan santai aja, mencari-cari dan coba menelaah mana nih, film yang bisa bikin gue merinding? Dan akhirnya gue menemukan genre yang mungkin akan menjadi genre favorit gue.

Ternyata.. film yang mengandung gore, violence, blood dan splatter tingkat sarap yang mampir di otak gue, menyindir-nyindir modula oblongata dan menyengat adrenalin untuk menenangkan diri gue yang kelewat kesenengan. Aneh, padahal gue kira, gue hanya akan tertarik dengan film-film dengan sinematografi sekelas lukisan, jajaran pemain papan atas yang bisa bikin gue ciut hanya dengan satu dialognya, atau grafis-grafis edan yang bisa bikin dunia khayalan jadi nyata. Tapi bukan tuh. Pernah denger Evil Dead? Nah, itu salah satunya yang menjadi kiblat gue sekarang.

Darah yang tumpah dalam jumlah riddikulus, potongan organ yang terbang kesana kemari, usus yang memburai, kepala yang pecah kaya semangka, dan tentunya, hero kelas B yang seakan Mary Sue (unbeatable) bawa-bawa gergaji untuk menghasilkan deskripsi-deskripsi diatas saat mencincang zombie-zombie tersebut. Urgh.. tempting. Daripada Batman atau Wolverine, gue lebih suka Ash (Evil Dead) yang menggergaji kepala pacarnya saat pacarnya udah kerasukan roh jahat di tiap seri Evil Dead. Atau Lionel (Braindead a.k.a Dead Alive) yang mencincang halus puluhan zombie hanya dengan pemangkas rumputnya.

Tapi jangan salah, genre yang (mungkin) menjadi favorit gue ini jangan disamakan dengan Twisted Thriller macam Saw atau Hostel. Horror dalam favorit gue adalah film-film ‘rendahan’ yang menjanjikan kesadisan frontal tanpa ba-bi-bu, tanpa mikir, tanpa make otak, dan yang gue butuhkan adalah beberapa batang rokok, kopi, dan popcorn yang bisa gue nikmatin sambil nyantai saat nonton.

Memang, baru beberapa film dalam genre ini yang gue tonton, tapi gue rasa, itu udah cukup untuk menstempel, bahwa gue memang jatuh cinta kepada genre yang satu ini. Sekedar referensi, film-film yang udah gue tonton itu, diantaranya:

Evil Dead
Evil Dead II: Dead by Dawn
Feast
Return of The Living Dead
Trailer Park of Terror
Braindead a.k.a Dead Alive
Toxic Avenger (ini mah cacat, sumpah)
Bad Taste

Sekedar informasi, dua film diatas, Bad Taste dan Braindead adalah film yang dibuat oleh Peter Jackson sebelum dia bikin Trilogi LOTR, yang panjangnya bisa bikin orang insomnia jadi ngantuk itu loh, dan sebelum badannya bengkak kayak panda seperti sekarang. Soal kualitas? Bad Taste itu seperti film yang scriptnya dibuat oleh anak kelas 6 SD dan di sutradarai oleh orang yang pernah menderita schizophrenia, belum sembuh total tapi sudah disuruh menyutradai sebuah film, hasilnya? Bad Taste. Tapi memang tujuan pembuatan film ini (katanya) memang mewakili selera murahan filmaker pada dekadenya. Entah ya..

Ah, lain kali gue mau review film-film diatas.

Braindead (1982)

0 komentar



Braindead a.k.a Dead Alive


beware of spoilers yeap?


Braindead, atau lebih dikenal dengan nama Dead Alive ini percaya gak percaya adalah besutan sutradara yang nanganin Lord Of The Ring, yap, si Peter Jackson. Sebelum dia dilimpahin rejeki budget berjuta-juta dollar dan ngadaptasi novelnya JR Tolkien itu, dia itu kerjaannya bikin film-film ‘sakit’ yang memuaskan rasa haus mereka-mereka yang fan dari gore-exploitation-splatter.

Braindead diawali dengan perjalanan sebuah kru peneliti ke daerah selatan sumatra, yeah, sumatra nyang entu, untuk menangkap spesies kera aneh yang dikenal dengan nama Sumtran-Raticus. Spesies aneh campuran monyet dan tikus. Kera yang akhirnya ditempatkan di sebuah kebun binatang di New zealand ini mulai menimbulkan masalah, manusia yang tergigit oleh spesies weirdo yang satu ini bisa berubah dalam hitungan hari! Woo..dan tentu saja, korban pertama dari si monyet kita ini adalah nenek dari hero kita, Leonel.

Leonel, pemuda tanggung nan canggung, nerdus kuperus ini tinggal sama neneknya yang sangat cocok jika digambarkan dengan kata ‘woman hitler’ versi modern. Hidupnya serba dikekang si nenek yang katanya sih bilang untuk kebaikan cucunya tersayang, dan Leonel yang memang udah yatim ini pun mau gak mau harus nurut sama neneknya, bahkan saat disuruh meninggalkan soulmatenya tercinta, paquita.


Well, ini bukan sinetron yang menceritakan perseteruan mertua dan menantu, karenanya, horror pun dimulai saat si nenek yang udah terinfeksi monyet tadi mulai bertransformasi menjadi zombie secara perlahan dan menimbulkan kekacauan beruntun. Yang menarik dari film ini, si polos Leonel yang sadar akan perubahan neneknya ini justru mencoba untuk menyembunyikan kezombie-an si nenek dengan caranya sendiri, yang bakalan menimbulkan masalah-masalah panjang berikutnya. Dan tentu, hilariously fun.

Review__

Asli, kalau ada yang menyatakan dirinya sebagai zombie lover, exploitation-gore-splatter fans, pasti gak mungkin gak suka sama film ini. Tingkat cult dari film ini secara subjektif gue anggep sama atau bahkan lebih dari Evil Dead seriesnya Sam Raimi. Peter Jackson bener-bener tau bagaimana cara memuaskan para fans dengan memberikan suguhan yang memang ingin kita lihat. Kayaknya, pembelajaran yang dia dapet dari proses pembuatan Bad taste bener-bener memberitahunya bagaimana sih cara membuat film yang bisa muasin fanbase horor sampai titik paling klimaks.

Percaya deh, lo gak akan tahan untuk gak mengeluarkan kata-kata makian saing nikmatnya suguhan sinematis yang dihadirkan di film ini. Darah dalam jumlah masif-idiotik, potongan daging yang beterbangan kemana-mana, adegan-adegan yang pasti gak bakalan lo bayangkan bakalan memenuhi mata dan otak lo dalam 90 menit pemutaran film ini.


Kao ditanya, apakah ada adegan memorable di film ini? Wuih, jangan samain film ini kayak Clash of The Titans yang begitu meleng aja gue udah lupa siapa nama jagoannya, film ini punya terlau banyak adegan cult yang gak bakalan bisa lo apus dari otak. Dari makan sup potongan telinga, sampai zombie ML. uh yeah, kata siapa zombie gak bisa kawin? Mereka saling napsu dan bisa ngelahirin anak secara instan! Haha! Didukung pula dengan couple yang sangat kinky sekali, pastur dan suster (zombie, tentunya).

Gue juga gak bisa ngelupain adegan si Lionel ngebawa bayi zombie itu jalan-jalan (ngapain coba), sumpah, adegan ini bikin gue ketawa dan bilang ‘bangsaaaaaat’ dalam waktu bersamaan.

Ketika lo menarik nafas lega dan berpikir bahwa filmnya baru aja melewati adegan klimaks saking kerasa edannya adegan itu, lo salah, adegan yang lebih sinting masih nunggu lo di scene berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Film ini bener-bener sukses ngebuat gue yang nonton bener-bener terpaku, nganga, dan instan memaki saking gobloknya apa yang gue liat.

Lo horror fan? Lo harus liat ini. Lupain Lord of The Ring, film ini jutaan kali lebih keren daripada itu.


10/10

Selasa, 14 September 2010

The Shining (1980)

0 komentar


God, I'd give anything for a drink. I'd give my god-damned soul for just a glass of beer -- Jack Torrance

Apa yang dibutuhkan sebuah film horror? Psikopat bertopeng bergergaji mesin? Andaikan lo jawab iya, berarti lo belom nonton The Shining. Film yang diadaptasi dari novel sang maestro horror, Stephen King ini nggak membutuhkan karakter itu. Lo cukup menyediakan bapak-bapak depresif dengan aplikasi tempramental yang di built in di dalam hatinya, plus hotel-besar-angker-creepy yang terisolasi selama 5 bulan musim dingin. Voila, lo udah dapetin terror sinting yang mempunyai probabilitas tinggi untuk memicu kelenjar ekskersi bekerja lebih aktif. Dan itu adalah The Shining.

Plotnya sederhana, dimulai ketika Jack Torrance (Jack Nicholson) melamar kerjaan di sebuah hotel untuk menjadi staff jaga selama musim dingin di hotel yang lagi tutup sementara, pekerjaan menjajikan yang ngebuat lo terisolir dari dunia luar selama 5 bulan Cuma dengan keluarga lo doang, belom lagi bonus menarik yang harus Jack dan keluarga hadapi, karena hotel ini punya sejarah kelam dimane setiap penjaga musim dingin yang dimiliki hotel ini selalu dapet celaka.

Simpel, dan sangat Stephen King abis, ga perlu banyak setting, ga perlu banyak karakter, tapi itu semua udah cukup untuk ngejadiin 90 menit yang lo abisin menonton film ini menjadi 90 menit yang asshole karena ngebuat lo bolak-baik ngegigitin selimut lo (oh kagak? Gue iye ). Gue selalu berkiblat pada horror 80-90an berkat film-film macem The Shining, film yang cukup cerdas untuk ngebuat suasana nan creepy tanpa perlu sound effect dang ding dong, dan pergantian gambar ekstra ekstrim yang nampiling muka serem. The Shining gak memiliki dua elemen tersebut, tapi bisa memberikan efek orgasme ketakutan melebihin film-film yang menggunakan formula itu. Habis pikir gak sih? Lo bisa deg-degan Cuma ngeliatin anak kecil muter-muter ruangan naek sepeda roda tiga? Dengan taraf akting yang sekelas 80an, tapi lo bisa dapet sensasi ngeri yang millenium.

Dan yeah, kalau tadi gue bilang akting sekelas 80an, maka Jack Nicholson di film ini adalah rajanya pada era itu. Bisa lo liat sendiri perubahan ekstrem Jack pada saat dia belom “berubah” dan setelahnya, jauuh.. dari bapak-bapak murah senyum menjadi serial killer on a duty, yang siap mengkampak siapapun yang ngalangin nyanyian setan di otanye. Gue suka gimana Stephen King memilih karakter didalam penceritaannya, gue lebih ngeri sama Serial Killer dalam bentuk bapak-bapak kaya Jack ini, bapak-bapak yang bisa kite liat dimanapun.. Kenapa? Karena.. sadar atau nggak, mereka dekat dengan kehidupan kite, siapa tau.. tukang ojek yang barusan nganter gue adalah seria killer yang gentayangan tiap malem di sekitaran Unpad, nyari darah segar untuk muasin nafsu sintingnye? Kagak tau kan? Makanya jadi serem.

The Shining adalah sebuah horror dimane lo gak perlu melihat banyak darah didalamnya, gak perlu ngeliat banyak orang-orang gak guna ko’it gitu aje tanpa ada alesan yang jelas, gak perlu embel-embel teknik segala-gala buat nyiptain atmosfir thrilling yang bikin kuduk merinding. Gue gak perlu ragu lagi untuk bilang bahwa The Shining adah Psychologycal Horror favorit gue yang masuk ke dalam daftar A list gue bareng dengan Misery (Stephen King again, anyone? ).

9/10